Istilah Judicial Corruption atau korupsi peradilan lahir dari kesadaran global bahwa praktik korupsi tidak hanya menjangkiti cabang eksekutif dan legislatif, tetapi juga merasuki ranah yudikatif yang semestinya menjadi benteng terakhir keadilan. Pada awalnya, istilah ini mengemuka dalam kajian akademik dan laporan lembaga internasional pada dekade 1980–1990-an, ketika lembaga-lembaga seperti Bank Dunia dan Transparency International mulai menaruh perhatian serius terhadap peran peradilan dalam mendukung pembangunan berkelanjutan. Korupsi dalam tubuh peradilan dianggap sangat berbahaya karena mampu merusak legitimasi hukum, menurunkan kepercayaan publik terhadap negara, serta mengikis prinsip rule of law yang menjadi fondasi demokrasi modern. Sejak saat itu, Judicial Corruption dipahami bukan sekadar penyimpangan individu, melainkan fenomena struktural yang dapat melemahkan sistem hukum secara menyeluruh.
Secara konseptual, Judicial Corruption mencakup segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat peradilan—hakim, jaksa, panitera, hingga staf administrasi pengadilan—untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Bentuknya sangat beragam, mulai dari suap untuk memenangkan perkara, jual beli putusan, manipulasi dokumen, hingga praktik nepotisme dalam pengangkatan dan promosi jabatan. Di sejumlah negara berkembang, fenomena ini kerap terjadi karena lemahnya mekanisme pengawasan, rendahnya kesejahteraan aparat hukum, serta intervensi politik yang kuat dalam proses peradilan. Kasus-kasus yang mencuat di Amerika Latin, Afrika, dan Asia pada masa itu memperlihatkan betapa rentannya lembaga peradilan terhadap pengaruh eksternal, sehingga mendorong lahirnya wacana internasional mengenai perlunya reformasi peradilan yang bersih dan independen.
Istilah ini semakin menguat seiring dengan agenda good governance yang berkembang pesat pada dekade 1990-an. Dalam berbagai forum internasional, Judicial Corruption diposisikan sebagai kategori khusus dari systemic corruption karena sifatnya yang merusak legitimasi hukum dari akar terdalam. Tidak seperti korupsi pada ranah administratif atau politik yang dampaknya dapat diatasi dengan mekanisme lain, korupsi peradilan menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap keadilan itu sendiri. Dalam konteks inilah kemudian muncul dorongan untuk memperkuat integritas yudikatif melalui kode etik hakim, transparansi putusan, reformasi sistem rekrutmen, serta pembentukan lembaga pengawasan khusus.
Kehadiran United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 menjadi tonggak penting dalam menginternasionalisasi agenda pemberantasan Judicial Corruption. UNCAC secara eksplisit menekankan pentingnya independensi peradilan dan mendorong negara-negara anggota untuk membangun sistem pengawasan internal maupun eksternal yang efektif terhadap aparat peradilan. Di Indonesia, istilah ini semakin relevan pascareformasi 1998, ketika banyak kasus jual beli perkara dan skandal peradilan mencuat ke publik, sehingga melahirkan lembaga pengawasan seperti Komisi Yudisial dan Mahkamah Kehormatan Hakim. Dengan demikian, Judicial Corruption bukan sekadar istilah akademis, melainkan refleksi atas realitas sosial dan hukum yang menegaskan bahwa tanpa peradilan yang bersih, seluruh upaya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi akan kehilangan makna serta efektivitasnya.
0 Komentar