Homo Homini Lupus Dan Penegakan HAM Di Indonesia

 

Sumber Gambar: www.bola.com

Frasa "homo homini lupus" yang berarti “manusia adalah serigala bagi sesamanya” menggambarkan pandangan pesimistis tentang sifat manusia yang mengarah pada egoisme, persaingan, dan eksploitasi satu sama lain. Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh filsuf Thomas Hobbes dalam karyanya Leviathan untuk menjelaskan keadaan alami manusia yang cenderung konflikual ketika berada tanpa aturan. Menurut Hobbes, tanpa kekuasaan atau hukum yang mengendalikan manusia, kehidupan akan dipenuhi oleh rasa takut, ketidakpercayaan, dan kekerasan, di mana setiap orang berpotensi menjadi ancaman bagi orang lain demi kepentingan pribadi. Konsep ini sering kali dihubungkan dengan masalah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), terutama dalam konteks lemahnya penegakan hukum dan perlindungan HAM.

Dalam konteks Indonesia, "homo homini lupus" kerap dipakai untuk menggambarkan situasi di mana HAM masih rentan dilanggar oleh pihak-pihak berwenang atau oleh kelompok yang memiliki kepentingan tertentu. Meski konstitusi Indonesia menjamin perlindungan HAM melalui Pasal 28 UUD 1945 serta berbagai undang-undang dan peraturan yang terkait, kenyataan menunjukkan bahwa pelanggaran HAM masih sering terjadi. Kasus-kasus kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat, ketimpangan ekonomi, serta konflik horizontal memperlihatkan masih dominannya "sifat serigala" dalam relasi antarmanusia di Indonesia. Fenomena ini diperparah oleh lemahnya sistem penegakan hukum, sehingga korban pelanggaran HAM sulit memperoleh keadilan.

Isu pelanggaran HAM di Indonesia mencakup berbagai aspek, seperti konflik agraria, kebebasan berpendapat, hak-hak minoritas, dan kekerasan berbasis gender. Dalam banyak kasus, hak-hak rakyat kecil dan kelompok rentan sering kali terabaikan atau bahkan dilanggar oleh pihak-pihak yang memiliki kekuasaan atau modal yang lebih besar. Misalnya, dalam konflik agraria, sering kali terjadi perampasan tanah atau pemaksaan penggusuran yang mengabaikan hak-hak masyarakat adat atau petani kecil. Ketidakadilan ini mencerminkan bahwa persaingan dan dominasi masih mendominasi relasi sosial dalam masyarakat, yang sesuai dengan pandangan Hobbes tentang manusia yang saling memangsa.

Di sisi lain, penegakan HAM di Indonesia masih menghadapi tantangan yang besar, baik dari segi hukum maupun politik. Institusi-institusi yang seharusnya menjadi pelindung HAM, seperti Komnas HAM dan pengadilan, terkadang kurang efektif dalam menjalankan tugasnya akibat kendala birokrasi, intervensi politik, atau ketidakcukupan sumber daya. Sebagai contoh, banyak laporan dan rekomendasi dari Komnas HAM terkait kasus pelanggaran HAM yang tidak diikuti oleh tindakan nyata dari pemerintah atau aparat penegak hukum. Kondisi ini menimbulkan skeptisisme di kalangan masyarakat terhadap komitmen negara dalam menegakkan HAM.

Pentingnya penegakan HAM dalam menghadapi kecenderungan "homo homini lupus" ini adalah agar negara berfungsi sebagai kekuatan yang mengendalikan dan melindungi warganya dari ancaman internal. Pemerintah harus memperkuat sistem hukum yang adil, transparan, dan berfungsi untuk melindungi HAM tanpa pandang bulu. Dalam kondisi di mana aparat hukum dapat bekerja dengan bebas dari tekanan atau intervensi, diharapkan bahwa ketidakadilan yang sering muncul dari "sifat serigala" manusia dapat ditekan. Upaya ini juga mencakup pemberdayaan masyarakat melalui pendidikan HAM agar setiap individu memahami pentingnya menghormati hak-hak sesamanya.

Dengan mengedepankan penegakan HAM yang efektif, diharapkan bisa tercipta masyarakat yang lebih beradab, di mana relasi antarmanusia tidak lagi dikuasai oleh egoisme dan kepentingan pribadi, melainkan oleh rasa saling menghormati dan keadilan.

Posting Komentar

0 Komentar