Prinsip Hukum Menurut Prof. Lon Luvis Fuller

 

Prof. Lon Luvis Fuller, seorang filsuf hukum terkemuka abad ke-20 dan guru besar di Universitas Harvard, dikenal luas dalam kajian filsafat hukum. Karya-karyanya sering muncul dalam literatur yang membahas kritik terhadap positivisme hukum klasik, khususnya terhadap pemikiran Prof. Jhon Austin. Menurut Prof. Bernard L. Tanya, Prof. Austin dalam bukunya The Province of Jurisprudence Determined telah menggeser cita-cita keadilan yang dikemukakan oleh aliran hukum kodrat dengan memandang hukum sebagai perintah dari otoritas berdaulat. Austin berpendapat bahwa hukum adalah aturan yang dibuat oleh makhluk rasional yang memiliki kekuasaan, dengan hukum positif sepenuhnya bersumber dari fakta empiris yang berasal dari otoritas tersebut. Pemikiran ini menegaskan bahwa hukum tidak ada tanpa perintah penguasa, sebuah doktrin yang banyak dikritik karena sulit membedakan perintah hukum dari perintah otoritarian. Salah satu kritik utama datang dari Prof. Lon Luvis Fuller, yang menyoroti bahwa pemikiran Austin mengabaikan aspek moralitas dalam penegakan hukum.

Fuller menegaskan bahwa pemahaman hukum yang hanya berdasarkan pada perintah semata, tanpa mempertimbangkan moralitas, bisa berbahaya. Contoh ekstremnya adalah rezim Nazi di bawah Adolf Hitler, di mana undang-undang Nuremberg pada tahun 1935 memfasilitasi pembunuhan massal terhadap rakyat Yahudi, yang dikenal sebagai Holocaust. Fuller khawatir bahwa tanpa moralitas, hukum dapat digunakan untuk tujuan yang sangat merugikan umat manusia.

Dalam bukunya The Morality of Law, Fuller mengemukakan delapan prinsip hukum yang harus dipenuhi, yang dikelompokkan dalam dua kategori utama: Moralitas Eksternal dan Moralitas Internal. Moralitas Eksternal berkaitan dengan keadilan, hak asasi manusia, solidaritas, dan empati terhadap yang tertindas. Sedangkan Moralitas Internal mencakup prinsip-prinsip berikut:

1. Sistem hukum harus terdiri dari aturan-aturan standar, bukan keputusan khusus yang terpisah-pisah. Ini penting untuk menilai apakah hukum adat di Indonesia, sebagai hukum asli bangsa, dapat terwujud melalui kodifikasi dan unifikasi hukum yang lebih cepat.

2. Aturan-aturan hukum harus diumumkan secara jelas agar masyarakat mengetahui norma-norma yang berlaku dan dapat menggunakannya sebagai panduan perilaku. Hal ini bertentangan dengan asas fiksi hukum yang berlaku di Indonesia, di mana banyak aturan tidak diumumkan dengan jelas.

3. Hukum tidak boleh bersifat retroaktif, karena aturan yang berlaku surut dapat merusak integritas hukum yang ditujukan untuk masa depan. Misalnya, pasal 43 ayat (1) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, yang mengizinkan pengadilan Ad Hoc mengadili pelanggaran HAM sebelum UU tersebut diundangkan, melanggar asas non-retroaktif.

4. Aturan harus disusun dalam bahasa yang jelas dan mudah dimengerti. Di Indonesia, terdapat masalah dengan bahasa hukum dalam undang-undang, di mana beberapa pasal tidak dijelaskan dengan cukup baik, sehingga menyulitkan masyarakat umum untuk memahami maknanya. Pendapat ini juga didukung oleh Prof. Acmad Ali.

5. Hukum tidak boleh mengandung aturan-aturan yang saling bertentangan. Di Indonesia, sering terjadi kontradiksi antar undang-undang, sehingga metode Omnibus Law yang sedang diterapkan diharapkan dapat mengurangi masalah ini.

6. Aturan tidak boleh menuntut lebih dari yang dapat dipenuhi. Hak dan kewajiban harus seimbang. Walaupun dalam praktik hukum Indonesia lebih mengutamakan kewajiban untuk mencapai hak, pemenuhan hak konstitusional masih belum optimal.

7. Frekuensi perubahan aturan harus diminimalisir untuk menjaga konsistensi dan orientasi hukum. Hal ini sejalan dengan pandangan K.C. Where, yang menganggap prosedur perubahan konstitusi harus sesulit mungkin untuk menjaga konsistensi hukum. Di Indonesia, hal ini tercermin dalam pasal 37 UUD 1945 yang mengatur prosedur amandemen konstitusi.

8. Terdapat kesesuaian antara peraturan yang diundangkan dan penerapannya dalam praktek sehari-hari. Di Indonesia, penegakan hukum masih menghadapi tantangan karena sistem hukum yang bersifat hibrida, sehingga sulit menentukan identitas hukum yang sesungguhnya, meskipun banyak ahli hukum menyebutnya sebagai sistem hukum Pancasila.

Demikianlah ulasan mengenai pemikiran Prof. Lon Luvis Fuller tentang prinsip-prinsip hukum yang esensial dalam sistem hukum. Semoga ulasan ini memberikan wawasan lebih dalam mengenai kontribusi Fuller dalam pemikiran hukum dan penerapannya di Indonesia. 


Salam Justitia!

Posting Komentar

0 Komentar