Masa Pembentukan UUD 1945
Manusia sebagai makhluk politis tidak dapat melepaskan diri dari kepentingan dan ego. Hal ini juga tercermin pada para founding fathers and mothers (istilah dari Prof. Mahfud MD) dalam proses pembentukan UUD 1945. Prof. Jimly Asshiddiqie, dalam bukunya "Pokok-pokok Hukum Tata Negara," mengungkapkan bahwa terjadi pembagian dua kelompok terkait pengaturan HAM dalam UUD 1945. Kelompok kontra, yang diwakili oleh Soekarno dan Soepomo, berpendapat bahwa HAM adalah konsep dari individualisme dan liberalisme yang bertentangan dengan konsep negara kekeluargaan atau gotong royong yang mereka usung. Di sisi lain, kelompok pro, yang diwakili oleh Mohammad Hatta dan Mohammad Yamin, mendalilkan bahwa pengaturan HAM dalam UUD 1945 diperlukan agar negara yang akan dibentuk tidak menjadi negara kekuasaan (machtstaat). Akhirnya, sebagai kompromi, beberapa hak diatur dalam UUD 1945 meskipun tidak dalam bab tersendiri, yaitu dalam Pasal 27, 28, 29, 31, 32, 33, dan 34. UUD 1945 ini kemudian disahkan pada 18 Agustus 1945.
Masa Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS)
Pengaturan HAM dalam Konstitusi RIS lebih komprehensif dibandingkan UUD 1945 asli. Hal ini dipengaruhi oleh adanya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia oleh PBB pada tahun 1948 dan bentuk serikat yang diterapkan berdasarkan kesepakatan antara Indonesia, Belanda, dan BFO melalui Konferensi Meja Bundar. KRIS mengatur HAM dalam Bagian V dengan 27 pasal, dari Pasal 7 hingga Pasal 33, yang mencakup HAM sipil dan politik. Namun, Pasal 33 memiliki ketentuan restriktif yang memungkinkan manipulasi politis untuk menghapuskan HAM yang diakui.
Masa UUDS 1950
Pada masa ini, pengaturan HAM mirip dengan yang ada dalam KRIS dan diatur dalam Bagian V. Dibentuknya badan Konstituante bertujuan untuk menyusun dan mengesahkan UUD, namun badan ini dibubarkan oleh Presiden Soekarno melalui Keppres No. 150 Tahun 1959 sebelum menyelesaikan tugasnya. UUD 1945 asli kemudian diberlakukan kembali.
Masa Dekrit Presiden 1959
Dekrit 5 Juli 1959 mengembalikan Indonesia pada UUD 1945 asli, dengan pengaturan HAM yang kembali berlaku. Namun, kelemahan UUD 1945 mulai terasa, menimbulkan executive heavy yang memperkuat kekuasaan Soekarno dan membuat pemerintahan menjadi diktator. Pada masa ini, pengaturan HAM dalam UUD 1945 kembali diperdebatkan sebagai individualistik, liberal, dan kapitalis.
Masa ORBA
Tahun 1967, Jenderal Soeharto diangkat menjadi Pejabat Presiden dan dikukuhkan sebagai Presiden pada 1968. Meskipun supremasi hukum diharapkan, wacana HAM pada masa ini tidak berkembang. Executive heavy semakin kuat, dan banyak terjadi pelanggaran HAM, seperti PETRUS, kasus Timor-Timur, dan peristiwa Santa Cruz. Pemerintahan Soeharto mengedepankan kewajiban daripada hak, memperkuat teori solidaritas sosial yang dikemukakan oleh Leon Duguit. Tekanan internasional meningkat akibat pelanggaran HAM, mengakhiri pemerintahan ORBA pada 21 Mei 1998 setelah Soeharto mengundurkan diri.
Masa Reformasi
Pergantian rezim membawa dampak signifikan bagi pemajuan dan perlindungan HAM. Revisi kebijakan dan peraturan terkait HAM dilakukan dengan penyesuaian terhadap instrumen internasional, tanpa mengesampingkan budaya Indonesia. Pada awal reformasi, MPR menetapkan TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, yang diikuti oleh UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. UUD 1945 juga direvisi dengan menambahkan Bab XA yang mengatur HAM. Pengadilan HAM dan Komnas HAM dibentuk untuk menegakkan HAM, namun kasus-kasus pelanggaran HAM berat dari masa sebelumnya masih belum terselesaikan. Kasus-kasus intoleransi agama dan konflik SARA juga meningkat pada masa ini, seperti konflik Ambon dan Maluku serta peristiwa Sampit. Upaya pemerintah belum sepenuhnya menghapuskan luka pelanggaran HAM di masa lalu, meskipun telah ada perbaikan.
0 Komentar