Dalam buku Di Negeri Penjajah karya sejarawan Harry A. Poeze, disebutkan bahwa Raden Mas Gondowinoto adalah orang Indonesia pertama yang berhasil meraih gelar Meester in de rechten (Mr.) atau sarjana hukum pada tahun 1918. Meskipun terdapat pendapat lain yang menyebut Oi Jan Lee sebagai orang Hindia Belanda pertama yang meraih gelar tersebut, namun pembahasan dalam artikel ini merujuk pada pribumi pertama yang menjadi sarjana hukum.
Universitas Leiden, tempat Gondowinoto menempuh pendidikan hukum, merupakan salah satu universitas tertua dan paling bergengsi di Belanda. Didirikan pada tahun 1575 oleh Pangeran Willem van Oranje, universitas ini menjadi simbol kebanggaan intelektual di Eropa, khususnya pada masa keemasan Belanda. Universitas Leiden dikenal karena iklim toleransi dan prestasi akademisnya, menarik banyak cendekiawan besar seperti René Descartes, Hugo Grotius, dan Spinoza. Hubungan Universitas Leiden dengan Indonesia tidak dapat dipisahkan dari sejarah kolonial Belanda. Banyak putra-putri Bumiputera pada masa Hindia Belanda, termasuk Gondowinoto, menimba ilmu di universitas ini seiring dibukanya akses pendidikan bagi pribumi melalui kebijakan politik etis.
Raden Mas Gondowinoto, lahir pada tahun 1889 di Yogyakarta, adalah keturunan keluarga kerajaan Pakualaman. Ayahnya, Pangeran Notodirodjo, sangat peduli terhadap pendidikan anak-anaknya, sehingga Gondowinoto dan saudara-saudaranya bersekolah di institusi Belanda. Setelah menyelesaikan pendidikan di ELS dan HBS pada 1907, Gondowinoto melanjutkan pendidikannya ke Negeri Belanda, mengikuti jejak kakaknya, Raden Mas Notokworo, yang menjadi dokter Indonesia pertama dari Universitas Leiden tanpa melalui STOVIA. Gondowinoto memilih jurusan hukum di Universitas Leiden, dan meskipun kakaknya, Noto Soeroto, lebih dahulu mengikuti ujian kandidat hukum, hanya Gondowinoto yang berhasil menyelesaikan studinya hingga meraih gelar Mr. pada tahun 1918.
Setelah menyelesaikan pendidikannya, Gondowinoto memulai karir hukumnya di Makassar sebagai anggota Majelis Kehakiman (1919-1921), sebelum akhirnya diangkat menjadi hakim ketua pada Pengadilan Pribumi di kota tersebut. Selama karirnya, ia juga bertugas di Kalimantan, di mana salah satu peran pentingnya adalah menjadi advokat bagi Idham Chalid, yang kelak menjadi Ketua PBNU. Dalam salah satu kasus yang melibatkan Idham Chalid, Gondowinoto berhasil menjadi penengah yang adil, membantu menyelesaikan sengketa tanpa meninggalkan dendam di antara para pihak. Keputusan ini menunjukkan kecakapan dan integritasnya sebagai seorang praktisi hukum.
Selain berkarir di bidang hukum, Gondowinoto juga terlibat aktif dalam dunia pers dan pergerakan nasional. Ia menjabat sebagai direktur surat kabar Soeara Kalimantan, sebuah mingguan yang bercorak nasionalis dan berupaya memperjuangkan kepentingan Islam. Dalam artikel-artikelnya, Soeara Kalimantan sering mengkritik kebijakan pemerintah kolonial yang dianggap sewenang-wenang, sekaligus mengajak rakyat untuk memperbaiki kondisi perekonomian. Hal ini mencerminkan semangat Gondowinoto dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat Bumiputera.
Pada masa pendudukan Jepang, Gondowinoto kembali ke Jawa dan menjabat sebagai penuntut umum di Mangkunegaran. Ia meninggal dunia pada tahun 1953, meninggalkan jejak karir yang mengesankan di berbagai bidang, dari hakim, advokat, hingga jaksa. Perjalanan hidupnya mencerminkan dedikasi terhadap profesi hukum sekaligus perjuangan untuk membela martabat bangsa di tengah-tengah dinamika kolonialisme dan perjuangan kemerdekaan. Sebagai sarjana hukum pertama dari kalangan pribumi, Gondowinoto membuka jalan bagi generasi penerus untuk menuntut ilmu dan berkontribusi dalam membangun bangsa.
0 Komentar