Maria Ulfah Santoso, yang juga dikenal sebagai Hajjah Raden Ayu Maria Ulfah atau Maria Ulfah Soebadio Sastrosatomo, adalah salah satu tokoh perempuan terkemuka dalam sejarah Indonesia. Lahir di Serang, Banten, pada 18 Agustus 1911, ia menjadi inspirasi bagi banyak perempuan Indonesia melalui perjalanan hidup dan kiprah politiknya. Maria wafat di Jakarta pada 15 April 1988 di usia 76 tahun. Nama Santoso diambil dari nama suami pertamanya, sementara nama Soebadio Sastrosatomo berasal dari suami keduanya setelah suami pertama meninggal dunia.
Maria berasal dari keluarga ningrat yang terdidik. Ayahnya, Raden Mochammad Achmad, merupakan seorang Bupati Kuningan yang menyelesaikan pendidikan di HBS (setara SMA pada masa itu), prestasi yang cukup langka di kalangan pribumi awal abad ke-20. Ibunya, Raden Ayu Chadidjah Djajadiningrat, adalah putri dari Raden Bagoes Djajawinata, seorang wedana Kramatwatu yang kemudian menjadi Bupati Serang. Masa kecil Maria dihabiskan di Serang dan Rangkasbitung sebelum keluarganya pindah ke Batavia karena tugas ayahnya.
Pada 1929, ketika ayahnya mendapat kesempatan belajar tentang koperasi di Den Haag, Maria ikut serta bersama keluarga. Di sana, ia memanfaatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi. Maria mendaftar di Fakultas Hukum Universitas Leiden, menjadikannya perempuan pribumi Indonesia pertama yang meraih gelar sarjana hukum. Selama kuliah, ia aktif dalam pergerakan sosial dan politik. Maria berkenalan dengan Sutan Sjahrir, tokoh sosialis Indonesia, yang memperkenalkannya pada dunia aktivisme dan kelompok sosialis di Belanda.
Setelah menyelesaikan studinya, Maria kembali ke Indonesia dan mulai mengajar di Perguruan Rakyat dan Perguruan Muhammadiyah. Ia mengampu tiga mata pelajaran sekaligus: sejarah, tatanegara, dan bahasa Jerman. Di sela-sela kesibukannya, ia juga bergabung dengan gerakan perempuan, yang kala itu mulai memperjuangkan hak-hak kaum perempuan dalam berbagai aspek kehidupan. Salah satu kontribusi pentingnya adalah mendirikan organisasi Isteri Indonesia, yang aktif menerbitkan majalah bulanan untuk menyuarakan ide-ide pembaruan perempuan.
Maria dikenal sebagai salah satu tokoh yang memperjuangkan perlindungan hukum bagi perempuan melalui reformasi Undang-Undang Pernikahan. Pada Kongres Perempuan Indonesia kedua di Batavia tahun 1935, ia mengusulkan peraturan yang melindungi perempuan dari penyalahgunaan hukum agama demi kepentingan sepihak laki-laki. Di era perumusan UUD 1945, Maria menjadi anggota BPUPKI dan menyampaikan gagasan tentang kesetaraan warga negara di hadapan hukum. Gagasan tersebut kemudian tercermin dalam Pasal 27 ayat 1 UUD 1945.
Karier politiknya mencapai puncak ketika Sjahrir menunjuknya sebagai Menteri Sosial dalam Kabinet Sjahrir II, menjadikannya perempuan pertama di Indonesia yang menjabat posisi menteri. Peran Maria sebagai menteri menunjukkan kemampuan luar biasa perempuan Indonesia di ranah politik, bahkan melampaui tradisi yang berlaku di banyak negara Eropa pada saat itu.
Di luar dunia politik, Maria juga aktif di bidang kebudayaan. Dari 1950 hingga 1961, ia menjabat sebagai Ketua Panitia Sensor Film Indonesia, yang mengawasi karya-karya film agar sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa. Pada masa senjanya, ia memimpin Yayasan Rukun Istri yang mengelola panti asuhan Putra Setia di Jakarta, dan menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung periode 1968-1973.
Warisan Maria Ulfah Santoso adalah perjuangannya untuk meningkatkan hak-hak perempuan, terutama dalam hukum dan politik. Ia memperjuangkan kesetaraan di hadapan hukum dan melawan praktik poligami melalui reformasi Undang-Undang Pernikahan. Meski kariernya tidak banyak dihabiskan di bidang hukum praktis, sumbangsihnya pada pembangunan hukum nasional, khususnya dalam mempromosikan hak perempuan, menjadi bagian penting dari sejarah Indonesia. Maria adalah simbol dari perjuangan perempuan Indonesia untuk mendapatkan tempat yang layak dalam kehidupan publik.
0 Komentar