Command Theory Dari John Austin Dalam Memandang Asal Hukum

 

John Austin, seorang filsuf hukum asal Inggris, dikenal melalui pemikirannya tentang hukum yang dituangkan dalam Command Theory atau teori perintah. Pandangan ini muncul dalam konteks aliran positivisme hukum yang berfokus pada analisis hukum sebagai fenomena sosial yang independen dari moralitas atau aspek lain di luar hukum itu sendiri. Menurut Austin, hukum harus dilihat sebagai seperangkat perintah yang diberikan oleh pihak yang memiliki kekuasaan tertinggi, yang ia sebut sebagai the sovereign atau penguasa berdaulat.  

Austin mendefinisikan hukum sebagai "perintah dari penguasa berdaulat yang didukung oleh ancaman sanksi bagi pihak yang melanggar." Perintah ini mencerminkan kehendak penguasa yang wajib ditaati oleh rakyat atau masyarakat yang berada dalam kewenangan hukum tersebut. Dengan kata lain, hukum adalah hasil dari kehendak penguasa yang memegang otoritas tertinggi dalam suatu wilayah. Dalam konteks ini, hukum tidak terkait dengan moralitas atau keadilan, melainkan bersifat  imperatif dan positif, yang berarti hukum berlaku karena ia diperintahkan oleh penguasa, bukan karena hukum tersebut adil atau benar.  

Asal hukum dalam perspektif Command Theory berakar pada kekuasaan politik yang konkret. Austin menyatakan bahwa penguasa berdaulat adalah entitas yang tidak tunduk pada otoritas lain, namun mampu memaksakan kehendaknya kepada pihak-pihak yang tunduk padanya. Dalam negara modern, penguasa berdaulat bisa berupa lembaga negara seperti parlemen atau kepala negara yang memiliki legitimasi untuk membuat peraturan hukum. Penguasa ini berperan sebagai sumber hukum yang memberikan perintah untuk mengatur kehidupan masyarakat. Hukum, oleh karena itu, muncul dari otoritas yang diakui, dan ketaatan terhadap hukum dijamin oleh adanya ancaman sanksi yang akan dijatuhkan kepada siapa saja yang melanggar perintah tersebut.  

Lebih jauh, Austin membedakan antara hukum yang dibuat oleh penguasa dan hukum yang bukan produk otoritas formal. Misalnya, hukum agama atau norma moral tidak dapat dikategorikan sebagai hukum menurut teori ini karena tidak memiliki unsur perintah dari penguasa yang disertai ancaman sanksi. Dalam Command Theory, validitas hukum sepenuhnya bersandar pada otoritas yang membuatnya dan penerapannya yang bersifat memaksa. Dengan demikian, hukum agama atau kebiasaan hanya dapat dianggap sebagai hukum jika diakui dan ditegakkan oleh penguasa melalui mekanisme formal.  

Namun, teori ini tidak lepas dari kritik. Salah satu kritik utama terhadap Command Theory adalah sifatnya yang terlalu sempit dalam mendefinisikan hukum. Teori ini mengabaikan aspek moral dan nilai-nilai keadilan yang sering kali menjadi landasan penting dalam pembentukan hukum di banyak negara. Selain itu, dalam masyarakat demokratis, hukum tidak hanya dibuat oleh penguasa berdaulat, tetapi juga melalui proses deliberasi dan partisipasi rakyat. Kritik lainnya datang dari H.L.A. Hart, yang berpendapat bahwa teori ini gagal menjelaskan keberadaan hukum konstitusional dan hukum yang mengatur kewenangan penguasa itu sendiri.  

Meskipun demikian, kontribusi Austin terhadap filsafat hukum tetap signifikan. Command Theory  memberikan dasar pemikiran awal tentang hukum positif sebagai sistem perintah yang harus dipatuhi demi ketertiban sosial. Dengan menghilangkan unsur moralitas dari definisi hukum, Austin berhasil memberikan pemahaman yang lebih obyektif dan analitis mengenai asal usul hukum sebagai produk kekuasaan politik. Teori ini juga membantu membangun fondasi bagi perkembangan studi hukum positif modern yang lebih menitikberatkan pada analisis hukum sebagai realitas yang dapat diukur dan diamati.  

Pandangan John Austin melalui Command Theory  memberikan perspektif yang jelas tentang asal hukum, yakni sebagai perintah dari penguasa berdaulat yang memiliki otoritas tertinggi. Hukum, menurut Austin, bukanlah refleksi dari moralitas atau keadilan, melainkan alat yang bersifat imperatif untuk mengatur perilaku masyarakat melalui perintah yang disertai ancaman sanksi. Meskipun mendapat kritik, gagasan ini tetap menjadi pijakan penting dalam memahami hukum positif sebagai sistem yang mandiri dan otonom dari aspek-aspek di luar hukum itu sendiri.

Posting Komentar

0 Komentar