Pengantar Sederhana Filsafat Hukum

 

Penulis ingin menekankan bahwa tujuan tulisan ini bukanlah untuk mengarahkan pembaca menjadi seorang filsuf, melainkan untuk memperkenalkan filsafat hukum. Meskipun penulis masih berada di semester empat dan seharusnya baru akan bertemu dengan materi filsafat hukum berdasarkan kurikulum fakultas, ketertarikan penulis pada filsafat hukum sudah tumbuh sejak semester pertama berkat dorongan seorang dosen. Oleh karena itu, tulisan ini lebih merupakan pengenalan terhadap filsafat hukum daripada sebuah usaha untuk benar-benar berfilsafat. Dalam tulisan ini, penulis akan menggunakan metode Socratic untuk memperkenalkan filsafat hukum, dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan dasar tentang topik tersebut. Jawaban atas pertanyaan ini tidak sepenuhnya berasal dari pemikiran penulis sendiri, tetapi juga dari hasil bacaan berbagai buku filsafat hukum dan filsafat umum lainnya.

Sebelum mengenal filsafat hukum, ada baiknya memahami perbedaan antara "berkenalan dengan filsafat" dan "berfilsafat." Berkenalan dengan filsafat berarti mengidentifikasi hal-hal yang secara umum diakui sebagai filsafat melalui pemikiran dan perenungan para filsuf dari berbagai era, baik pra-Sokrates, masa Sokrates, maupun pasca-Sokrates. Dalam konteks ini, filsafat berfungsi sebagai objek pembelajaran. Sebaliknya, berfilsafat berarti melakukan refleksi kritis terhadap kehidupan dan semesta yang ingin kita ketahui sebagai manusia, menghasilkan pemikiran dan perenungan filosofis. Dalam hal ini, filsafat bukanlah objek, melainkan predikat yang melekat pada subjek. Meskipun demikian, seseorang tidak harus terlebih dahulu berkenalan dengan filsafat untuk bisa berfilsafat. Bahkan sejak kecil, manusia sudah sering berfilsafat melalui pertanyaan mendasar seperti "mengapa langit berwarna biru?" atau "mengapa burung bisa terbang sedangkan ayam tidak?"

Apa itu filsafat? Secara etimologis, filsafat berasal dari kata "philos" yang berarti cinta atau suka, dan "sophia" yang berarti kebijaksanaan. Istilah ini juga memiliki akar dari bahasa Arab, yakni "falsafah." Meski secara etimologis keduanya memiliki arti yang sama, ada perbedaan tujuan dan makna antara "philosophia" dan "falsafah." "Philosophia" berasal dari filsafat barat yang menekankan jarak antara subjek (manusia) dan objek (dunia), serta peran penting rasio dan kritis. Sementara itu, "falsafah" berasal dari filsafat timur yang memandang subjek dan objek sebagai kesatuan harmonis dengan tujuan utama mencapai kebijaksanaan dan religiusitas. Meski berbeda dalam tujuan dan makna, kedua istilah tersebut secara etimologis setara.

Secara terminologi, berikut beberapa pendapat para filsuf terkemuka tentang filsafat:

1. Plato: Filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada dan bertujuan mencapai kebenaran asli.

2. Aristoteles: Filsafat adalah ilmu yang meliputi kebenaran, termasuk ilmu metafisika, logika, etika, ekonomi, politik, dan estetika.

3. Al-Farabi: Filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya.

4. Immanuel Kant: Filsafat adalah ilmu pokok dari segala pengetahuan yang meliputi empat permasalahan pokok: apa yang dapat kita ketahui, apa yang boleh kita kerjakan, sampai di mana pengharapan kita, dan apa itu manusia.

Lalu, apa itu filsafat hukum? Secara terminologi, berikut pengertian filsafat hukum menurut beberapa filsuf dan pemikir hukum:

1. Gustav Radbruch: Filsafat hukum berkaitan dengan persoalan-persoalan nurani manusia.

2. Prof. Mochtar Kusumaatmadja: Filsafat hukum adalah bagian dari filsafat yang objeknya khusus hukum.

3. Zoachim Friderich: Filsafat hukum adalah filsafat terapan yang dapat diterapkan pada masyarakat melalui teori, seperti teori social engineering Roscoe Pound yang dibawa oleh Prof. Mochtar Kusumaatmadja ke Indonesia pada masa Orde Baru.

4. Meuwissen: Filsafat hukum adalah bagian dari filsafat umum, dengan titik tolak kefilsafatan tertentu.

5. JJ.H. Bruggink: Filsafat hukum adalah induk dari semua disiplin yuridis, karena membahas masalah-masalah fundamental dalam hukum.

6. Prof. Soerjono Soekanto: Filsafat hukum adalah perenungan dan perumusan nilai-nilai serta penyerasian nilai-nilai.

7. M. Van Hoecke: Filsafat hukum adalah filsafat umum yang diterapkan pada gejala-gejala hukum.

8. Posner: Filsafat hukum adalah analisis abstraksi tingkat tinggi dengan menggunakan pendekatan aliran-aliran pemikiran dalam ilmu hukum, seperti hukum alam, positivisme, utilitarisme, historisme, realisme, sosiologis, antropologis, dan lainnya.

Penulis lebih mudah memahami definisi filsafat hukum yang disajikan oleh Posner, karena itulah yang ditemui dan dirasakan selama berkenalan dengan filsafat hukum.

Subjek dalam filsafat hukum adalah kita, manusia. Sebagaimana yang sering disampaikan oleh dosen penulis, Dr. Davit Ramadhan, manusia memiliki alat kelengkapan yang terdiri dari rasio, raga, dan rasa. Peran rasio dan rasa sangat besar dalam proses berkenalan dan berfilsafat. Secara alamiah, manusia adalah makhluk yang haus akan pengetahuan dan memiliki keingintahuan terhadap berbagai hal, yang pada akhirnya mengharapkan hasil berupa pengetahuan. Proses pengamatan yang berujung pada refleksi adalah inti dari berfilsafat, seperti yang sering diungkapkan oleh para filsuf. Sementara itu, objek dalam filsafat hukum adalah hukum itu sendiri beserta seluruh ruang lingkupnya. Objek ini dipilih untuk diamati, dianalisis, dan direfleksikan.

Metodologi dalam filsafat hukum adalah cara kita menghadapi dan menganalisis hal yang akan diamati atau direfleksikan. Fungsi metodologi adalah untuk menghubungkan antara subjek dan objek yang telah dibahas sebelumnya. Metodologi yang dipilih akan menentukan sudut pandang subjek dalam mengamati objek. Setiap subjek dapat menentukan sudut pandangnya sendiri, sehingga tidak mengherankan jika sering terjadi perbedaan sudut pandang di antara para pemikir hukum atau filsuf hukum mengenai pengertian dan tujuan hukum. Perbedaan ini juga dipengaruhi oleh perubahan ruang dan waktu seiring berjalannya zaman.

Menjelaskan tujuan filsafat hukum secara ringkas dalam ratusan halaman buku adalah hal yang sangat kompleks karena luasnya kajian filsafat hukum serta beragamnya aliran dan pandangan para pemikir hukum. Namun, penulis berusaha memberikan pemahaman dasar mengenai tujuan filsafat hukum. Tujuan ini tidak bisa dilepaskan dari objek dan metodologi yang telah dibahas sebelumnya. Metodologi berfungsi sebagai alat analisis untuk mengulas objek yang telah ditentukan. Pada dasarnya, tujuan filsafat hukum adalah untuk memahami hakikat hukum yang dimulai dari pertanyaan "apa itu hukum?" dan berlanjut dengan pertanyaan reflektif "bagaimana hukum seharusnya?" Sebagai contoh, dalam positivisme klasik, hukum adalah apa yang tertulis dalam undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang berdaulat dan diterapkan pada masyarakat, dengan sifat memaksa dan adanya sanksi jika dilanggar, seperti yang dikemukakan oleh John Austin.

Prof. Otje Salman mengidentifikasi beberapa pokok pembahasan dalam filsafat hukum sebagai berikut:

1. Masalah tujuan hukum, seperti pemikiran Prof. Soerjono Soekanto tentang keserasian antara ketertiban dan ketentraman, serta teori utilitarianisme Jeremy Bentham.

2. Masalah mengapa orang menaati hukum, dengan pandangan filsuf seperti Demosthenes yang menyatakan bahwa hukum berasal dari Tuhan, kebiasaan bijaksana, kesusilaan, dan persetujuan.

3. Masalah mengapa negara berhak menghukum, dengan pandangan pemikir seperti Hans Kelsen yang mengusung teori kedaulatan negara.

4. Masalah hubungan hukum dengan kekuasaan, seperti teori social engineering Roscoe Pound yang diterapkan oleh Prof. Mochtar Kusumaatmadja di Indonesia.

5. Masalah pembinaan hukum, dengan pemikiran Prof. Mochtar Kusumaatmadja yang disampaikan pada masa Orde Baru, dapat dibaca dalam buku Prof. Achmad Ali, "Teori Hukum dan Teori Peradilan."

6. Masalah hakikat hukum, dengan pandangan dari filsuf seperti Thomas Aquinas dan Augustinus tentang teori teokrasi, Hans Kelsen tentang teori kedaulatan hukum, serta Jellinek dan Laband tentang teori kedaulatan negara, dan pemikiran John Locke, Hobbes, dan Rousseau tentang teori kontrak sosial.

Menurut Antonius Cahyadi dan Fernando Manullang, dengan tambahan dari penulis, langkah-langkah dalam memahami filsafat hukum adalah sebagai berikut:

1. Mengerti dan memahami problem yang terkandung dalam kenyataan filosofis. Artinya, kita harus mengerti pertanyaan yang akan dibahas atau direnungkan. Sebagaimana diungkapkan oleh L. Kattsoff, mereka yang bertanya tanpa memiliki jawaban yang jelas bukanlah berfilsafat, melainkan orang bodoh.

2. Setelah memahami problem yang muncul, kita harus melihat berbagai kemungkinan jawaban yang ada beserta argumen-argumen yang menguatkan atau melemahkan. Filsafat pada umumnya sangat toleran terhadap perbedaan pendapat. Mengikuti tanpa menerima perbedaan bukanlah berfilsafat; metode percaya saja hanya berlaku dalam ranah agama.

3. Terakhir, kita harus mencoba melihat kembali pernyataan yang memungkinkan jawaban yang diajukan untuk dilemahkan (falsifikasi). Dalam tahap ini, kita mengkritisi jawaban yang diajukan sendiri untuk afirmasi terhadap jawaban yang dimiliki. Hal ini mengingatkan pada perkembangan teori dalam filsafat yang dinyatakan oleh Prof. Achmad Tafsir dalam bukunya, bahwa teori yang kuat dapat dipatahkan oleh teori baru yang dapat menjawab permasalahan yang diajukan.\

Berfilsafat dalam hukum bukan hanya sekadar menghafal atau menerima sesuatu begitu saja, tetapi melibatkan proses berpikir yang mendalam dan kritis. Seperti yang dinyatakan oleh Prof. Franz Magnis Suseno dalam bukunya, filsafat mengarahkan kita untuk berpikir metodis, logis, tertata, dan berdasarkan pada fenomena yang ada. Filsafat mendorong tanggung jawab intelektual, di mana mereka yang telah terbiasa dengan filsafat akan selalu dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang dapat menggoyahkan pendirian mereka kapan saja. Orang yang hanya menerima ilmu tanpa pemikiran kritis sering digambarkan oleh Prof. Franz Magnis Suseno sebagai "hanya membebek saja."

Dogma hukum adalah salah satu contoh di mana kita diajari untuk menerima hukum apa adanya, terutama jika telah dituangkan dalam undang-undang oleh pemerintah. Namun, ada kemungkinan bahwa ada kepentingan politis di baliknya. Seperti yang dikatakan oleh Frederic Bastiat, seorang legislator mungkin juga seorang pengusaha, menunjukkan potensi konflik kepentingan. Berfilsafat dalam hukum mengajak kita untuk mengembangkan daya kritis terhadap hukum yang ada, mempersoalkan permasalahan di dalamnya, dan mengeksplorasi bagaimana hukum seharusnya diterapkan. Prof. Thomas E. Davit dalam bukunya "Nilai-nilai Dasar dalam Hukum" (versi terjemahan) menggambarkan bahwa perbedaan bahasa manusia dapat menyebabkan kerancuan dalam penegakan hukum, yang menekankan pentingnya pemikiran kritis dalam memahami hukum.

Membaca buku-buku filsafat, khususnya filsafat hukum, memerlukan pengorbanan waktu dan upaya. Bagi pemula, merasa sia-sia pada awalnya adalah hal yang wajar. Namun, daya kritis yang diperoleh dari berfilsafat akan memberikan manfaat besar di masa depan. Penulis sendiri sedang berproses untuk mendapatkan pemahaman yang lebih dalam melalui filsafat hukum.

Penulis memadukan pendapat Prof. Zainal Arifin dan Van Hoecke yang dikutip oleh Dr. JJ.H. Bruggink, serta menambahkan pendapat pribadi. Berikut ini adalah pokok kajian filsafat hukum:

1. Ontologi Hukum

Ilmu tentang hakikat segala sesuatu, termasuk hukum dan hubungannya dengan moral.

2. Aksiologi Hukum

Ilmu tentang nilai, seperti nilai keadilan, kepatutan, persamaan, dan kebebasan.

3. Ideologi Hukum

Ilmu tentang tujuan hukum yang berkaitan dengan cita-cita manusia, contohnya Pancasila sebagai ideologi negara Indonesia.

4. Epistemologi Hukum

Ilmu tentang pengetahuan hukum, menyelidiki sejauh mana pengetahuan tentang hakikat hukum dimungkinkan.

5. Teleologi Hukum

Ilmu tentang tujuan hukum, menentukan makna dan tujuan dari suatu hukum.

6. Teori Ilmu dari Hukum

Filsafat sebagai meta-teori atau bahkan meta-meta-teori, seperti yang disebutkan oleh Prof. Sudikno dalam bukunya "Teori Hukum."

7. Logika Hukum

Ilmu tentang cara berpikir yang benar, khususnya dalam pemikiran yuridis dan argumentasi yuridis.

Prof. Lili Rasjidi dan Prof. Sudikno memberikan pandangan yang berharga mengenai kedudukan filsafat hukum dalam hukum. Prof. Lili Rasjidi menyatakan bahwa filsafat hukum muncul ketika teori hukum tidak lagi mampu menjalankan tugasnya. Prof. Sudikno, dalam bukunya, meletakkan filsafat hukum di atas teori hukum dan menyebutnya sebagai meta-meta-teori (teorinya teori). Ini menegaskan bahwa filsafat hukum berada di puncak hierarki hukum. Filsafat sering dikatakan muncul ketika ilmu telah mencapai batasnya, dan filsafat hukum dianggap sebagai induk dari segala ilmu, yang memulai dan mengakhiri segala sesuatu.

Salah satu kesalahpahaman umum adalah anggapan bahwa filsafat menentang agama. Mereka yang berpendapat demikian biasanya tidak memiliki pemahaman yang mendalam tentang filsafat. Menurut Prof. Juhaya dalam bukunya "Filsafat dan Etika," filsafat dan agama sebenarnya memiliki kesamaan, yaitu keduanya mencari kebenaran sejati. Perbedaannya terletak pada cara mencapai kebenaran tersebut. Filsafat memperoleh kebenaran melalui penyelidikan rasional, sementara agama menerimanya melalui kepercayaan. Banyak filsuf besar juga mengakui dan mendukung agama, seperti Immanuel Kant yang mencetuskan konsep Tuhan sebagai penyebab utama dalam argumennya.

Penulis, yang adalah seorang Kristen taat, tidak merasa bahwa filsafat bertentangan dengan agama. Sebaliknya, filsafat membantu mempertanyakan dan memahami lebih dalam tentang kepercayaan agama. Penulis berencana untuk menulis lebih lanjut tentang filsafat hukum di blog "Detik Mahasiswa Hukum," membahas berbagai aliran filsafat hukum dari masa lalu hingga masa kini.

Penulisan ini diakhiri dengan penegasan bahwa filsafat tidak menentang agama, tetapi justru memperkaya pemahaman kita tentang kebenaran. Filsafat hukum membantu kita menjadi lebih kritis dan mendalam dalam memahami dan menerapkan hukum, serta menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar yang mungkin tidak terjawab oleh ilmu hukum biasa. Filsafat hukum, sebagai meta-teori, mengarahkan kita untuk terus mengeksplorasi dan memahami hukum dalam konteks yang lebih luas dan mendalam.

Posting Komentar

0 Komentar