Di awal era reformasi, salah satu agenda utama yang mendapat perhatian signifikan adalah pengaturan kekuasaan kehakiman dalam UUD 1945. Perubahan mendasar dalam sistem ketatanegaraan Indonesia pasca-amandemen UUD 1945 mencakup pengenalan prinsip pemisahan kekuasaan dan prinsip check and balances. Tujuan utama dari perubahan ini adalah untuk memperkuat supremasi hukum dengan cara memperkuat kekuasaan kehakiman, khususnya dalam hal kewenangan judicial review. Pada masa itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi lembaga negara yang memiliki kewenangan constitutional review, sementara Mahkamah Agung tetap memegang kewenangan judicial review. Hal ini diatur dalam Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan, yang menyebutkan bahwa MPR berwenang menguji undang-undang terhadap UUD 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan, sementara Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.
Namun, pelaksanaan ketentuan ini tidak berjalan sebagaimana mestinya. MPR, hingga ketetapan tersebut dicabut, belum pernah melaksanakan kewenangannya untuk menguji undang-undang, sedangkan Mahkamah Agung semakin sering menangani perkara yang berkaitan dengan judicial review, baik melalui gugatan maupun permohonan. Kewenangan judicial review akhirnya diatur secara konstitusional dalam UUD 1945 pasca-amandemen. Mahkamah Agung diberikan kewenangan judicial review menurut Pasal 24A ayat (1) UUD 1945, sementara Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan judicial review menurut Pasal 24C ayat (1) UUD 1945.
Setelah pengaturan dalam Pasal 24C UUD 1945, Mahkamah Konstitusi belum sepenuhnya terbentuk. Hal ini diatasi melalui Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945, yang mengharuskan pembentukan Mahkamah Konstitusi paling lambat 17 Agustus 2003. Sebelum Mahkamah Konstitusi terbentuk, Mahkamah Agung menjalankan kewenangan yang seharusnya menjadi tugas Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi mulai beroperasi setelah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi diundangkan pada 13 Agustus 2003, dan para hakim konstitusi dilantik pada 16 Agustus 2003, dengan pelaksanaan efektif mulai 19 Agustus 2003.
Secara konstitusional, kewenangan Mahkamah Agung diatur dalam Pasal 24A ayat (1) UUD 1945, yang meliputi: mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan kewenangan lain yang diatur dalam undang-undang. Sementara itu, kewenangan Mahkamah Konstitusi menurut Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 meliputi: menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum.
Pengaturan lebih lanjut mengenai Mahkamah Agung diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Sementara itu, pengaturan mengenai Mahkamah Konstitusi terdapat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Meskipun Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi merupakan dua lembaga kekuasaan kehakiman yang berbeda, keduanya memiliki kedudukan setara dalam struktur kekuasaan kehakiman di Indonesia.
Keduanya memiliki kewenangan judicial review, namun dalam ranah kewenangannya berbeda. Mahkamah Agung menguji peraturan perundang-undangan yang berada di bawah undang-undang terhadap undang-undang, sementara Mahkamah Konstitusi menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Ini menunjukkan bahwa kedudukan hukum yang diuji oleh masing-masing lembaga berbeda secara hierarkis. Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menetapkan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia, mulai dari Undang-Undang Dasar hingga Peraturan Daerah.
Dengan adanya dualisme kewenangan judicial review di Indonesia, yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, mungkin akan timbul konflik kelembagaan di masa depan. Oleh karena itu, beberapa pakar hukum tata negara di Indonesia berpendapat bahwa perlu ada pemisahan tegas antara kewenangan judicial review Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Jimly Asshidiqie dan Maruarar Siahaan adalah contoh pakar hukum yang menyarankan pemisahan yang jelas dalam hal kewenangan judicial review. Hal ini merupakan bagian dari perdebatan ilmiah yang sah.
Secara praktik, pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang oleh Mahkamah Agung harus dihentikan jika undang-undang yang diuji sedang dalam proses pengujian oleh Mahkamah Konstitusi, sampai ada putusan dari Mahkamah Konstitusi. Pasal 55 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi menjamin adanya harmonisasi materi peraturan perundang-undangan melalui mekanisme kontrol normatif ini.
0 Komentar