Perdebatan antara Hugo Grotius (Mare Liberum) dan John Selden (Mare Clausum) merupakan salah satu momen penting dalam sejarah hukum internasional, khususnya dalam pembentukan konsep hukum laut. Konflik intelektual ini mencerminkan perbedaan pandangan filosofis dan kepentingan politik antara dua kekuatan maritim besar pada abad ke-17, Belanda dan Inggris, serta bagaimana hukum digunakan sebagai alat untuk mendukung kebijakan negara.
Pada awal abad ke-17, dunia tengah memasuki era eksplorasi dan perdagangan global yang pesat. Belanda muncul sebagai kekuatan maritim dan ekonomi yang besar, dengan armada dagangnya mendominasi rute perdagangan internasional. Untuk melindungi kepentingan mereka, Belanda membutuhkan dasar hukum yang mendukung kebebasan bernavigasi di laut terbuka tanpa hambatan dari negara lain.
Hugo Grotius, seorang filsuf dan ahli hukum asal Belanda, menulis Mare Liberum (1609) sebagai pembelaan terhadap kebebasan laut. Karya ini muncul di tengah perselisihan antara Belanda dan Portugal terkait monopoli perdagangan di wilayah maritim Asia. Grotius berargumen bahwa laut, sebagai sumber daya bersama, tidak bisa dimiliki secara eksklusif oleh satu negara. Menurutnya, laut adalah ruang yang bebas untuk semua negara guna mempromosikan perdamaian dan kesejahteraan global melalui perdagangan.
Sebaliknya, Inggris, yang juga merupakan kekuatan maritim besar, memandang perlunya kontrol atas perairan tertentu untuk melindungi kepentingan nasionalnya. John Selden, seorang ahli hukum asal Inggris, merespons Grotius dengan menerbitkan Mare Clausum (1635). Dalam buku ini, Selden menyatakan bahwa negara memiliki hak untuk mengklaim kedaulatan atas laut di sekitar wilayah mereka. Pemikiran Selden sejalan dengan kebijakan Inggris untuk menguasai perairan di sekitar kepulauan Inggris demi memastikan keamanan dan kepentingan ekonominya.
Hugo Grotius dan Mare Liberum
Grotius mendasarkan argumennya pada prinsip bahwa laut adalah milik semua umat manusia (res communis) karena sifatnya yang tidak dapat dimiliki atau dikuasai secara eksklusif. Dia mengacu pada hukum alam, yang menyatakan bahwa sumber daya yang tidak terbatas, seperti udara dan laut, harus dapat diakses oleh semua. Grotius menekankan pentingnya kebebasan navigasi sebagai landasan bagi perdamaian internasional dan perdagangan yang adil.
Grotius juga memperkuat argumennya dengan prinsip moral dan teologis, menekankan bahwa laut adalah anugerah Tuhan bagi seluruh umat manusia. Dengan demikian, setiap upaya untuk memonopoli laut bertentangan dengan hukum alam dan moralitas universal.
John Selden dan Mare Clausum
Sebagai tanggapan terhadap Grotius, Selden menulis Mare Clausum lebih dari dua dekade kemudian. Ia berargumen bahwa negara memiliki hak untuk mengklaim kedaulatan atas laut tertentu, terutama jika perairan tersebut dekat dengan wilayah daratan mereka. Selden mengutip sejarah dan praktik kekuasaan maritim oleh negara-negara besar di masa lalu, seperti Romawi dan Inggris, untuk mendukung klaimnya.
Selden berpendapat bahwa laut bukanlah res communis melainkan dapat menjadi res nullius, yaitu sesuatu yang tidak dimiliki tetapi dapat dikuasai oleh negara. Dalam pandangan Selden, kedaulatan atas laut diperlukan untuk melindungi keamanan, ekonomi, dan stabilitas politik negara.
Konsekuensi Perdebatan
Perdebatan antara Grotius dan Selden memiliki dampak besar pada pengembangan hukum laut modern. Pemikiran Grotius tentang kebebasan laut menjadi dasar bagi banyak aturan internasional, termasuk United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), yang menetapkan bahwa laut di luar zona ekonomi eksklusif (ZEE) adalah milik bersama umat manusia.
Namun, gagasan Selden tentang kedaulatan atas laut juga tidak sepenuhnya hilang. Prinsip bahwa negara dapat mengklaim zona maritim tertentu, seperti laut teritorial dan ZEE, mencerminkan pengaruh pandangan Selden dalam hukum laut internasional modern. Kombinasi antara kebebasan laut dan kedaulatan negara atas wilayah maritim menjadi inti dari rezim hukum laut yang berlaku saat ini.
Relevansi Hukum Laut Saat Ini
Meski perdebatan ini terjadi lebih dari empat abad yang lalu, isu-isu yang dibahas oleh Grotius dan Selden tetap relevan. Ketegangan antara kebebasan navigasi dan klaim kedaulatan atas laut terlihat dalam berbagai sengketa maritim modern, seperti konflik di Laut Cina Selatan. Prinsip mare liberum yang diusung Grotius sering digunakan oleh negara-negara besar seperti Amerika Serikat untuk menentang klaim maritim yang berlebihan oleh negara lain.
Di sisi lain, klaim kedaulatan yang ditekankan Selden memberikan landasan bagi negara-negara untuk melindungi sumber daya alam di wilayah maritim mereka, seperti yang terlihat dalam pengelolaan zona ekonomi eksklusif.
Perdebatan antara Hugo Grotius dan John Selden dalam "Perang Buku" mencerminkan tidak hanya perbedaan filosofis, tetapi juga kepentingan geopolitik di era kolonialisme. Karya-karya mereka, Mare Liberum dan Mare Clausum, menjadi warisan intelektual yang membentuk hukum laut modern, mengintegrasikan prinsip kebebasan dan kedaulatan. Perdebatan ini menunjukkan bagaimana hukum internasional berkembang sebagai respons terhadap kebutuhan praktis dan moral dalam pengelolaan hubungan antarnegara.
0 Komentar